BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Erikson lahir pada tahun 1902 di
Frankfurt, Jerman. Erikson bukanlah anak yang pintar dan berprestasi dikelas,
meskipun dalam beberapa mata pelajaran Erikson memiliki prestasi seperti
sejarah masa lalu dan seni. Erikson akhirnya menemukan kembali panggilan
hidupnya, ketika dia berusia 25 tahun, ketika dia diundang untuk mengajar
anak-anak disebuah sekolah baru di wina yang didirikan oleh Anna Freud dan
Dorothy Burlingham. Untuk mengisi waktu luang, ketika Erikson sedang tidak
mengajar, dia mempelajari psikoanalisis anak bersama Anna Freud dan lain-lain
nya. Salah satu karya Erikson yang terpenting adalah “childhood and society”,
dan dua bukun lain yang juga berpengaruh yang berjudul “the young man Luther”
(1958) dan “Gandhi’s Truth (1969), menjembatani pemikiran psikoanalisis dengan
peristiwa-peristiwa historis.
Erikson memperdalam psikoanalisis
freud dengan memperkenalkan 8 tahap kehidupan, yaitu rasa percaya vs tudak
percaya, otonomi vs rasa malu-malu, inisiatif vs rasa berssalah,
kegigihan/industri vs inferioritas, identitas vs kebingungan peran, keintiman
vs isolasi, semangat berbagi vs penyerapan diri dan stagnasi, dan integritas
ego vs rasa putus asa.
Pentahapan Erikson memang lebih
menyoroti perkembangan emosional manusia, namun pada dasarnya masih memenuhi
kriteria yang sama yaitu, pentahapan (1) melukiskan perilaku yang secara
kualitatif berbeda, (2) mengacu pada persoalan umum (3) berlangsung dalam
urutan yang tidak berubah,dan (4) secara kultural bersifat universal.
B. Rumusan
Masalah
1. Siapakah
Erikson ?
2. Bagaimana
tahapan-tahapan perkembangan anak menurut Erikson ?
3. Apa
saja masalah-masalah teoretis menurut teori Erikson ?
C. Tujuan
1. Mengenal
sosok Erikson.
2. Mengetahui
tahapan-tahapan perkembangan anak menurut Erikson.
3. Mengetahui
masalah-masalah teoretis menurut teori Erikson.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Erik.
H Erikson
Erikson
lahir pada tahun 1902 di Frankfurt, Jerman. Orang tuanya berasal dari Denmark,
Erikson berasal dari keluraga broken home,
orang tuanya bercerai sebelum beberapa bulan dia lahir. Sehingga ibunya pergi ke
Frankfrut dan membesarkan bayinya disana. Diusia Erikson yang ketiga tahun
ibunya menikah lagi dengan seorang dokter yang bernama Dr. Homburger, ibunya
dan ayah tirinya adalah keturunan Yahudi, namun fisik Erikson berbeda, dia
lebih besar dan pirang serta memiliki mata berwarna biru seperti orang Denmark.
Sehingga anak-anak yahudi setempat memanggilnya “goy” (bukan Yahudi). Erikson
bukanlah anak yang pintar dan berprestasi dikelas, meskipun dalam beberapa mata
pelajaran Erikson memiliki prestasi seperti sejarah masa lalu dan seni. Namun
setelah Erikson menyelesaikan pendidikannya di tingkat sekolah menengah atas,
dia malah merasa dirinya kacau dan tidak tahu apa yang akan dia lakukan untuk
masa depannya, ketika sudah tiba saat untuk melanjutkan pendidikannya ke
tingkat diploma, Erikson malah lebih banyak mengembara dan pergi berkeliling
Eropa selama setahun, dan kembali lagi kerumah untuk belajar seni sebentar dan
melanjutkan pengebaraan nya lagi. Pada saat seperti ini Erikson sedang
mengalami masa atau fase dimana seorang anak muda sedang mencari jati diri
dengan caranya sendiri.
Erikson
akhirnya menemukan kembali panggilan hidupnya, ketika dia berusia 25 tahun,
ketika dia diundang untuk menggajr anak-anak disebuah sekolah baru di wina yang
didirikan oleh Anna Freud dan Dorothy Burlingham. Untuk mengisi waktu luang,
ketika Erikson sedang tidak mengajar, dia mempelajari psikoanalisis anak
bersama Anna Freud dan lain-lain nya. Menginjak usia 27 tahun Erikson menikah
dengan Joan Serson dan memulai keluarga, namun kehidupan mereka terganggu pada
tahun 1933 saat kebangkitan Hitler, sehingga memaksa mereka keluar dari Eropa
dan pindah ke Boston dan menetap disana untuk beberapa saat, diamana dia
menjadi analis anak yang pertama sekali di kota tersebut. Namun demikian
dorongan untuk mengembara telah tertanam didalam diri Erikson, setelah tiga
tahun dia bekerja di Boston, lalu kemudian dia mendapatkan tawaran utnuk ngajar
disekolah Yale, dan dua tahun lagi dia mengadakan perjalanan ke cagar budaya
Pine Ridge di kota selatan, dan tinggal disana untuk mempelajari suku Indian
Sioux. Kemudia Erikson pindah ke Fransisco, tempat ia memulai praktiks klinis
nya terhadap anak-anak dan berpartisipasi di dalam longitudinal Universitas
California terhadap anak-anak normal. Dan berkesempatan menjelajahi pantai
California untuk mempelajari suku Indian lain nya yaitu para nelayan Yurok.
Pada
tahun 1949 selama era kepemimpinan McCarthy, Erikson berkonflik dengan instansi
yang mempekerjakannya di universitas Calfornia tersebut, pihak universitas
meminta sumpah setia semua pekerja nya, dan Erikson pun menolak hal tersebut,
setelah beberapa rekan kerja nya di pecat dari pekerjaan itu akhirnya Erikson
pun mengundurkan diri dan kemudian mengambil sebuah pekerjaan di Austin Riggs
Center di Stockbridge, dan pada periode ini Erikson menerima gelar profesor di
Harvad padahal Erikson tidak pernah memperoleh gelar formal bahkan untuk
program diploma sekalipun, sejak tahun 1960 disitulah dia tinggal di Harvard
samapai ajal menjemputnya. Salah satu karya Erikson yang terpenting adalah
“childhood and society”, dan dua bukun lain yang juga berpengaruh yang berjudul
“the young man Luther” (1958) dan “Gandhi’s Truth (1969), menjembatani
pemikiran psikoanalisis dengan peristiwa-peristiwa historis.
B.
Tahapan
Perkembangan Anak Menurut Erikson
1.
Tahap
oral
Pertama-tama
Erikson berusaha memberikan kepada pertahapan Freudian generalitas lebih besar
dengan menunjukkan bahwa di setiap zona libidinal kita bisa menemukan mode ego
yang khas. Di tahap awal, zona utamanya adalah mulut, dia memiliki mode
aktifitas yang disebut inkorporasi, memasukkan
sesuatu kedalam dirinya secara pasif namun sangat mendambakan sesuatu itu
(Erikson, 1963, h. 72). Namun aktifitas inkorporasi tidak berhenti ditahap
mulut, dia juga mencirikan aktifitas inderawi yang lain. Bayi tidak hanya
memasukkan sesuatu lewat mulutnya, tetapi juga lewat matanya. Ketika melihat
sesuatu yang manarik, dia membuka mata lebar-lebar dengan penuh semangat,
berusaha memasukkan objek kedalam dirinya dengan segenap kemampuannya. Sejalan
dengan itu tampakya dia juga memasukkan ke dalam dirinya perasaan-perasaan,
lewat indera mereka yang masih rapuh.refleks mendasar seperti refleks
menggenggam, tampaknya menikuti mode inkorporasi ini juga, misalnya ketika jari
kita menyentuh telapak tangan bayi, otomatis telapak tangannya menggenggam jari
kita atau menggengam disekitar objek yang menyentuh telapak tangan bayi.
Menurut
Freud tahapan oral kedua ditandai dengan munculnya gigi dan gigitan agresif.
Menurut Erikson mode penggigitan atau penggenggaman sama seperti inkorporasi,
adalah mode umum yang tidak berhenti pada aktifitas mulut saja. Seiring dengan
pertumbuhannya bayi dapat aktif menjangkau dan menggenggam segala sesuatu
dengan tangan mereka. “mata bagian pertama dari sistem yang awalnya pasif
menerima kesan-kesan, sekarang belajar untuk mengfokuskan diri, mengisolasi,
“menggenggam” objek-objek dari latar belakang yang lebih buram, dan mengikuti
gerakan objek-objek tersebut” (1963,h.77). Contohnya, ketika seorang bayi yang
berumur 3 bulan dibaringkan didalam box bayi dan diatasnya telah dipasang mainan yang dapat mengeluarkan suara
dan berputar-putar, ketika mainan dimainkan, bayi tersebut akan melihat kearah
sumber suara lalu mengamati bergeraknya mainan tersebut untuk beberapa saat,
lalu bayi tersebut meraih salah satu benda di mainan yang bergantung diatas
boxnya. Setelah dapat meraih benda yang dia inginkan dalam genggamannya, bayi
tersebut berusaha untuk memasukkannya kedalam mulut. Akhirnya organ-organ
pendengaran meneguhkan mode menggenggam secara lebih aktif lagi. Bayi sekarang
dapat membedakan dan melokalisasikan suara-suara yang signifikan, sambil
menggerakkan kepala dan tubuhnya
sehingga bisa memasukkan suara-suara itu ke dalam dirinya secara aktif.
Tahap paling
umum : Kepercayaan vs Ketidakpercayaan Mendasar
Tahap
umum periode oral ini terdiri atas perkenalan umum ego anak yang sedang
berkembang dengan dunia sosial. Ditahap pertama, ketika bayi berusaha
memasukkan hal-hal yang mereka butuhkan, mereka berinteraksi dengan para
pengasuhnya, mengikuti cara budaya bertindak pada dirinya. Yang terpenting dari
interaksi-interaksi ini adalah bayi berusaha menemukan sejumlah konsistensi,
prediksi dan reliabilitas di dalam tindakan-tindakan mengasuh mereka. Ketika
memahami bahwa orang tua cukup konsisten dan dapat diandalkan, mereka mulai
mengembangkan pemahaman tentang kepercayaan mendasar kepada orang tua. Bayi
menjadi paham ketika mereka merasa dingin atau lapar, maka orangtua bisa
diandalkan untuk membebaskan dari rasa sakit itu. Kebalikan dari hal ini adalah
rasa tidak percaya, perasaan bahwa orangtua tidak bisa diprediksi dan tidak
bisa dipercaya dan mungkin tidak akan pernah hadir jika dibutuhkan (1963,
h.247).
Disisi
lain bayi, juga harus belajar memercayai
dirinya sendiri. Karena masalah ini menjadi semakin akut waktu mereka
mengetahui besarnya konsekuwensi dari giginya yang gatal telah menyakiti puting
ibu lewat gigitan yang tajam dan genggaman yang keras. Ketika bayi belajar
mengatur genggaman ini yaitu menyedot tanpa menggigit, menggenggam tanpa
menyakiti, bayi mulai dapat melihat dirinya “cukup bisa dipercaya sehingga para
pengasuhnya tidak perlu khawatir akan digigit” (1963, h.248). bayi juga belajar
untuk tidak menyakiti ibunya, karena dia percaya bahwa ibunya bisa membebaskan
dari rasa sakit. Untuk ibu sendiri, Erikson menyarankan agar mereka tidak
menarik diri terlalu meyolok atau menyapih terlalu cepat bayinya. Karena jika
hal ini terjadi, si bayi akan merasa perawatannya tidak bisa dipercaya karena
tiba-tiba dihentikan begitu saja.
Erikson
melihat tanda pertama kepercayaan pada ibu ini muncul ketika bayi rela
“membiarkan ibu menghilang dari pandangan matanya tanpa rasa cemas atau marah
yang tidak perlu” (1963, h.47). istilah ‘tidak perlu ini penting untuk
dijelaskan, karena kita melihat didalam uraian Bowlby bahwa kebanyakan bayi
mengalami kecemasan akan perpisahan. Namun jika orangtuanya bisa diandalkan,
kata Erikson, maka bayi bisa mentorerir ketidakhadiran mereka. Contohnya , pagi
hari ketika seorang bayi akan ditinggal orangtuanya bekerja dan dititipkan
kepada pengasuh dirumah, bayi dapat belajar mentorerir ketidak hadiran
orangtua, karena bayi merasa bahwa orangtuanya bisa diandalkan dan akan pulang
pada siang nanti. Hanya jika orangtuanya tidak bisa diandalkan, barulah bayi
tidak membiarkan mereka pergi, dan terserang panik bila memaksa pergi juga.
Contohnya, bayi yang tinggal bersama pengasuhnya dirumah ketika orangtuanya
bekerja, bayi akan selalu menangis dan panik karena menganggap bahwa orangtuanya
tidak akan kembali lagi.
Erikson
berkata bahwa dia lebih menyukai istilah percaya
(trust) karena “terdapat lebih
kenaifan dan kesetaraan didalamnya” (1963, h.248). rasa percaya ini
menghasilkan sifat kesabaran yang lembut lantaran kepastian perasaan bahwa
perhatian orang tua akan selalu ada jika dibutuhkan. Contohnya, ketika bayi
menangis karena ngompol, orangtua akan mengganti popoknya. Rasa percaya kalo
begitu adalah sebuah pengertian bahwa orang lain bisa diandalkan dan
diprediksi.
Apakah
kepercayaan diri orang tua berkaitan dengan pertumbuhan bayi ? Erikson
tampaknya memiliki pendapat yang mirip dengan psikiatris H.S. Sullivan.
Sullivan (1953, h.49-109) percaya bahwa pada bulan-bulan pertama kehidupannya,
bayi memiliki sejenis empati fisik yang khusus dengan figur ibu, bayi merasakan
apa yang sedang ibunya rasakan, misalnya, bayi merasakan jika ibu sedang berada
dalam kondisi tegang. Bila ibu merasa cemas bayi ikut merasa cemas, bila ibu
merasa tenang bayi ikut merasa tenang juga. Interaksi-interaksi awal ini sangat
mempengaruhi perilaku anak kedepan. Karena itu sangat penting untuk menjaga
hubungan antar pribadi seperti ini. Bayi perlu merasa bahwa pada dasarnya
hubungan ini baik sehingga dia merasa aman-aman saja untuk menjadi dekat dengan
orang lain.
Erikson
terkadang mengesankan pembacanya bayi mestinya mengembangkan rasa percaya dan
bukannya rasa tidak percaya. Namun dia tidak pernah bermaksudkan untuk
demikian. Dia melihat setiap tahapan adalah konflik atau tegangan vital dimana
kutub ‘negatif’ juga diperlukan bagi pertumbuhannya. Bayi harus mengalami
keduanya, rasa percaya maupun rasa tidak percaya. Jika mereka hanya
mengembangkan rasa percaya, mereka akan terlalu medah ditipu. “sangat jelas”,
kata Erikson, “kalo bayi harus mengalami rasa tdak percaya tertentu agar mereka
bisa belajar percaya lewat kepekaan dan ketepatan”. (1957, h.23).
Kesimpulannya,
bayi mengumpulkan dan kemudian menggenggam benda-benda didunia lewat beragam
inderanya. Masalah kritis dalam tahap ini adalah rasa percaya vs rasa tidak
percaya. Jika bayi dapat mengambangkan keseimbangan rasa percaya ini lebih
besar dari rasa tidak percaya, maka bayi akan mengembangkan kekuatan ego inti
dalam periode ini : harapan. Harapan memampukan anak bergerak maju dan
berkonsentrasi dengan dunia secara antusias, apapun frustasinya saat ini dan
dimasa lalu.
2.
Tahap
Anal
Erikson
setuju dengan Freud kalo mode dasar tahapan ini adalah retensi dan eliminasi,
menahan arau melepaskan. Namun Erikson juga menunjukkan mode ini meluas lebih
dari sekedar zona anal. Contohnya, anak-anak mulai menggunakan tangan untuk
menggenggam erat-erat objek dan sebaliknya, bisa melepasnya kuat-kuat. Sekali
sanggup jongkok dengan baik, anak dapat mengubur barang dengan hati-hati, untuk
kemudian mengeluarkannya keesokan harinya. Dengan orang dewasa kadang mereka
juga suka menahannya, mengendus-endusnya, namun kadang, pada saaat yang lain,
mereka mendorong orang dewasa agar pergi menjauh darinya (1959, h.82,86).
Tahap umum : Otonomi vs
rasa malu dan ragu-ragu
Diantara
implus-implus yang saling bertentangan ini “memegang dan membuang” anak
berusaha melatih kemampuan memilih. Anak yang berusia 2 tahun ingin memegang
apapun yang diinginkan, dan mendorong apapun yang tidak diinginkan. Mereka
melatih kehendak mereka tepatnya otonomi.
Anak
akan sering menggunakan kata-kata ‘aku’ dan ‘punyaanku’, tetapi lebih banyak
otonomi mereka diekspresikan dalam satu kata saja : ‘tidak’. Anak usia 2 tahun
tidak mampu berkata ‘ya’, seolah persetujuan penyerahan bulat-bulat
independensi mereka. Melalui penekanan yang kuat maka kata ‘tidak’, anak
menolak semua kontrol eksternal atas dirinya.
Seperti
diamati Freud, orangtua tidak suka anak mereka menikmati fase anal ini dengan
cara yang disukainya, orang tua malah melatih mereka bertindk dengan cara yang
benar secara sosial. Ketika anak mendesak untuk makan sendiri dan membuat
kekacuan, orang tua berusaha mengatur tingkah laku mereka. Dengan cara yang
sama, cepat atau lambat orangtua memutuskan bahwa anak usia 2 tahun tidak boleh
lagi mengatakan ‘tidak’ terhadap setiap permintaan orangtua. Mereka harus hidup
dimasyarakat dan menghargai keinginan orang lain. Konflik di tahap ini, kalo
begitu, merupakan konflik yang sangat umum.
Erikson
mendefinisikan konflik ditahap ini sebagai otonomi vs rasa malu dan ragu-ragu.
Otonomi muncul dari dalam, sebuah pengawasan biologis yang mengasuh kemampuan
anak untuk melakukan segala hal dengan caranya sendiri, mengontrol otot perut
mereka sendiri, berdiri diatas kaki sendiri, menggunakan tangannya sendiri, dan
sebagainya. Rasa malu dan ragu-ragu, sebaliknya, datang dari kesadaran akan
ekspektasi dan tekanan sosial. Contohnya, seorang gadis kecil yang mengompol di
celana jadi sadar sendiri, kaatir kalau orang lain melihatnya. Dalam kondisi
itu. Rasa ragu berasal dari kesadaran bahwa dirinya tidak begitu berkuasa,
sehingga orang lain bisa mengontrol dia dan bertindak lebih baik daripada dia.
Orang
tua disejumlah budaya membantu anak mereka mengalami hal ini. Namun sayang,
orang tua tidak sesensitif ini, malah mempermalukan anak mereka secara
berlebihan, contohnya saat mereka buang angin. Orang tua mematahkan hati anak
dengan sikap bermusuhan, atau menertawakan upaya mereka melakukan hal-hal
tertentu dengan caranya sendiri. Dalam kondisi yang demikian, anak bisa
mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu yang abadi, yang ujung-ujungnya malah
mengiring implus-implus mereka kepada pembatas diri sendiri.
Bagi
anak yang sanggup menyelesaika krisis kedua ini dengan cara yang positif, maka
mereka akan mengembangkan kekuatan ego dalam bentuk kehendak yang kokoh. “kehendak,”
kata Erikson merupakan kebulatan tekat yang tidak bisa dipatahkan untuk
melatih pilihan yang bebas dan pengendalian diri” (1964, h.199). Erikson
memasukkan pengendalian didalam definisi ini karena percaya bahwa penting bagi
anak untuk belajar mengontrol implus-implus mereka sendiri, dan menentukan apa
yang tidak pantas (tidak boleh) dilakukan. Jadi, anaklah yang seharusnya
berinisiatif demikian, bukan kekuatan eksternal.
3.
Tahap
Falik (Odipal)
Selama
tahap ketiga Freud (antara usia 3-6 tahun), kepedulian anak kepada zona anal
membuka jalan menuju perhatian kepada zona genital. Anak memfokuskan
ketertarikan kepada alat kelaminnya dan menjadi sangat ingin tahu organ kelamin
anak lain. Mereja juga mulai membayangkan dirinya didalam peran orang dewasa,
bahkan berani bersaing dengan salah satu orang tuanya untuk memperoleh kasih
sayang yang lain. Anak memasuki krisis odipal.
Erikson
menyebut mode utama ditahap ini sebagai intrusi. Istilah intrusi melukiskan aktifitas penis anak laki-laki, namun sebagai
mode umum, istilah ini mengacu lebih banyak hal lagi. “hal-hal ini menyangkup
intrusi kepada tubuh orang lain lewat serangan fisik, intrusi kedalam telinga dan pikiran orang lain lewat percakapan
agresif, intrusi kedalam ruang lewat
gerakan-gerakan yang menyolok dan intrusi
kedalam hal-hal yang tidak diketahui lewat keingintahuan” (Erikson,1963,
h.87)
Tahap umum : Insiatif vs Rasa Bersalah
Inisiatif,
seperti intrusi, berarti pergerakan
kedepan. Lewat inisiatif, anak membuat rencana, menetapkan tujuan dan mempunyai
semangat untuk mencapainya. Erikson mencatat contohnya, sejumlah aktivitas
salah satu putranya saat berusia 5 tahun. Suatu hari dia melihat seberapa
tinggi bisa menyusun mainan baloknya, kemudian menemukan permainan lain untuk
melihat seberapa tinggi dia bisa melompat dari tempat tidur orang tuanya, dan
akhirnya mendorong anggota keluarga yang lain untuk melihat sebuah film baru
yang kabanyakan berisi aksi dan kekerasan. Tingkah laku ini dia lakukan
berdasarkan tujuan, hasrat dan persaingan dan kualitas imajinasi tertentu.
Di
titik ini, krisis datang ketika anak mulai menyadari bahwa rencana-rencana
terbesar mereka dan harapan-harapan terdalamnya hancur berantakan.
Ambisi-ambisi ini tentunya ambiso odipal, keinginan untuk memiliki salah satu
orang tua dan bersaing dengan yang satunya. Lalu anak menemukan kalau
harapan-harapan melanggar tabu sosialdan amat berbahaya dari yang bisa dia
bayangkan. Karena itu anak mulai menginternalisasikan larangan-larangan sosial,
sebuah rasa bersalah pembentuk superego. Hasilnya adalah sebentuk pengendalian
diriyang sama sekali baru, meski jauh sesudah itu, apabila kegembiraan dan
keberanian naif individual seperti ini muncul lagi, maka dia akan dipersalahkan
sendiri oleh dirinya yang mengamati, mengendalikan dan menghukum dirinya
sendiri.
Superego
dibutuhkan bagi perilaku yang tersosialisasikan, namun ternyata dia masih
mengandung sejumlah inisiatif keberanian. Namun Erikson tidak pesimis dengan
hal ini. Dia malah mengamati kalau anak-anak yang berusia 3-6 tahun, lebih dari
periode waktu manapun, sudah siap untuk belajar lebih cepat dan gigih, dia
bersedia mencari cara untuk menghubungkan ambisi mereka dengan tujuan-tujuan
yang berguna secara sosial (1963, h.258). orang tua bisa membantu proses ini
dengan memperlunak otoritas dan memperbolehkan anak berpartisipasi dengan
setara untuk mengahadapi proyek-proyek kehidupan yang menarik. Lewat cara ini
orang tua bisa membantu nak keluar dari krisis tahapan ini dengan pengertian
penuh mengenai tujuan “keberanian
untuk memimpikan dan mengejar tujuan-tujuan yang bernilai” yang tidak akan bisa
oleh rasa bersalah maupun larangan (1964, h.122).
- Tahap Latensi
Erikson
menunjukkan bahwa tahap latensi justru paling menentukan bagi pertumbuhan ego.
Anak belajar menguasai kemampuan kognitif dan sosial yang penting. Krisis dalam
tahap ini adalah Industri vs
inferioritas. Anak melupakan keinginan masa lalu, yang sering kali
merupakan harapan keluarganya dan sangat ingin mempelajari kemampuan dan
kegunaan peralatan budayanya yang lebih luas.
Bahaya
pada tahapan ini adalah perasaan berlebih-lebihan karena ketidaktepatan dan
inferioritas. Contohnya adalah ketika anak diperolok-olok oleh teman-teman
bermainnya. Perasaan inferior yang terlalu mendalam memiliki akar yang beragam.
Anak akan menemui kesulitan di tahap ini karen tidak dapat menyelesaikan
konflik di tahap-tahap selanjutnya. Namun guru yang baik bisa membantu anak di
masa-masa kritis ini. Dalam kehidupan orang-orang yang penuh inspirasi besar
dan bertalenta tinggi, ternyata gurulah yang dulu sudah membuat dia merasa
berbeda dan unik dengan memberikan dukungan. Keberhasilan memecahkan masalah di
tahap ini akan membawa anak kepada penguatan ego yang disebut “kompetisi”.
- Tahap Pubertas
Masa
remaja merupakan tahap penuh gejolak karena perubahan fisiologis yang dramatis
dialami pada masa remaja. Menurut Erikson, tugas utama remaja adalah membangun
pemahaman baru mengenai identitas ego. Identitas ego adalah sebuah perasaan
tentang siapa dirinya dan apa tempatnya ditatanan sosial yang lebih besar.
Krisis ini merupakan salah satu dari krisis
identitas vs kebingungan peran.
Pertumbuhan fisik pada masa remaja
menciptakaan rasa kebingungan identitas anak muda tumbuh dengan cepat dan
mengubah segala cara yang sudah ditemukan sebelumnya. Bisa saja karena alasan
inilah para remaja menghabiskan banyak waktu untuk menatap cermin dan
memerhatikan penampilan mereka. Namun masalah identitas yang dihadapi remaja
sama banyaknya dengan masalah sosialnya. Masalah tersebut yaitu ketakutan tidak
terlihat baik atau tidak memenuhi harapan orang lain.
Karena remaja merasa tidak begitu
pasti dengan jati dirinya, mereka sangat bersemangat untuk mengidentifikasi
diri dengan bergabung di suatu ‘gang’.
Mereka bisa menjadi sangat ‘nge-gang,
tidak toleran, dan kejam saat membully teman mereka’. Beberapa anak muda
membiarkan dirinya terserap ke dalam ieologi politik atau religius tertentu.
Pencarian anak muda akan nilai-nilai yang dapat membuat mereka merasa dirinya
sudah melakukan sesuatu yang benar. Untuk mengembangkan pemahaman identitas
lewat pencapaian tertentu dengan melihat diri kita sebagai “pribadi yang
sanggup melakukan hal-hal ini ”. pencapaian seperti ini lalu menjadi bagian
dari sudah diniati sejak dulu.
- Tahap Dewasa Muda
Keintiman vs isolasi
Tahap
perkembangan dewasa Erikson berisi langkah-langkah manusia memperlebar dan
memperdalam kapasitas mencintai dan memerhatikan orang.pada masa remaja
sebelumnya , mereka hanya berpusat pada diri sendiri, mereka lebih bergulat
dengan bagaimana penampilan mereka di mata orang lain, dan akan menjadi apa
mereka di masa depan. Di dalam interaksi-interaksi awal itu anak muda berusaha
menemukan siapa diri mereka melalui percakapan tanpa batas mengenai perasaan
mereka yang sesungguhnya, mengenai pandangan satu sama lain, rencana, harapan,
dan cita-cita mereka.
Masa
dewasa muda merupakan sebuah keintiman, yang merupakan satu-satunya perasaan
identitas paling masuk akal yang sudah dibangun selama ini. Namun bila anak
muda begitu khawatir dengan maskulinnya, maka dia tidak akan dapat menjadi
kekasih yang baik. Karena dia terlalu sadar diri dan khawatir dengan bagaimana
cara menarik diri dengan bebas dan lembut dari pasangan seksualnya. Di
tingkatan ini mereka yang gagal mencapai mutualitas sejati akan mengalami kutub
sebaliknya dari tahapan dewasa muda.
Erikson
mengamati beberapa anak muda yang terburu-buru menikah. Padahal pasangan anak
muda tersebut belum matang secara mendalam untuk menikah. Mereka berharap
sanggup menemukan diri mereka di dalam pernikahan. Namun pasangan muda tersebut
capat atau lambat mulai merasa terkekang oleh kewajiban sebagai kekasih dan
orang tua. Mereka akan segera mengeluh mengeluh pasangannya tidak lagi
memberinya kesempatan untuk mengembangkan diri, dan putusan dari persoalan ini
dengan berganti pasangan adalah keputusan yang tidak tepat.
Oleh
sebab itu Erikson membahas tentang orgasme. Orgasme merupakan pengalaman
tertinggi daripengaturan timbal balik yang bisa mengurangi kepahitan yang tidak
perlu, perselisihan diantara dua manusia. Karena setiap orang berbedan secara
seksual dan yang lainnya, maka pasti akan selalu ada derajat antagonisme
diantara pasangan-pasangan itu, yang bisa mengarah pada pengisolasian periodik.
Keintiman harus kuat, maka kaum dewasa muda dapat mengembangkan kekuatan ego
yang disebut cinta yang dewasa.
- Tahap Dewasa
Dalam
tahapan ini manusia memasuki tahapan semangat
berbagi vs penyerapan diri dan stagnasi. Semangat berbagi merupakan istilah
yang sangat luas, mengacu bukan hanya memproduksi anak, tapi juga memproduksi
hal-hal dan ide-ide lewat kerja.
Fakta
seseorang yang sudah memiliki anak maka tidak menjamin dia memiliki semangat
berbagi. Orang tua harus dapat melakukan lebih banyak hal dari pada hanya
menghasilkan keturunan, mereka juga harus melindungi dan membimbing mereka.
Orang tua juga sering mengorbankan kebutuhan diri sendiri, hanya untuk memenuhi
kebutuhan anak. Mereka harus mengatasi godaan untuk memuaskan diri sendiri,
yang hanya akan mengarah pada stagnasi yang tidak produktif.
Eriksob
juga mencatat bahwa sejumlah orang sudah mengembangkan semangat berbagi dan
perhatian walaupun tidsk memiliki anak. Contohnya para Biarawati dan Pastur,
mereka mampu mengasuh anak-anak rohani mereka, seperti orang lain
mengaplikasikan kemampuan istimewa mereka dengan bidang lain. Orang-orang
seperti mereka ini menuntun generasi selanjutnya.
Di
sisi lain, ada juga banyak orang menikah tapi kekurangan semangat berbagi.
Pasangan sering kali mundur ke dalam ‘pseudo-keintiman’ atau “mulai menutup
diri seolah mereka satu-satunya anak tunggal”. Individu-individu seperti ini
tampaknya lebih peduli dengan kebutuhannya sendiri daripada kebutuhan anak
mereka.
- Tahap Usia Senja
Kaum
lansia harus menghadapi serangkaian kehilangan kekuatan fisik dan kesehatan,
kehilangan pekerjaan sehingga pendapatan mereka bergantung pada dana pensiun
atau dari anak mereka, dan seiring berjalannya waktu mereka mulai kehilangan
pasangan, kerabat, dan teman-teman mereka. Mereka menderita kehilangan status
sosialnya, menjadi tidak bisa aktif lagi, dan merasa diri mereka tidak berguna.
Orang tua yang berhasil mengatasi kesulitan ini akan sanggup menyesuaikan diri
dengan kondisi fisik dan sosialnya yang baru.
Fakta
bahwa para lansia tidak bisa seaktif dulu. Namun penekanan mestinya bukan
diberikan pada penyesuaian eksternal, melainkan pergulatan bati di periode ini,
sebuah pergulatan yang berpotensi untuk tumbuh bahkan mencapai kebijaksanaan.
Erikson menyebut pergulatan ini Integritas
ego vs keputusasaan.
Seiring
dengan mendekatnya para lansia dengan kematian, mereka pun mengulas masa hidup
dan bertanya-tanya apakah hidup yang sudah mereka jalani berharga. Di dalam
proses ini, mereka berkonfrontasi dengan rasa putus asa. Mereka memiliki
perasaan bahwa hidup bukan seperti yang mereka inginkan. Banyak lansia muak
dengan hal-hal kecil, tidak lagi memiliki kesabaran untuk berjuang dan
mengalahkan orang lain seperti dulu.
Integritas
ego adalah perasaan bahwa terdapat sebuah suratan bagi hidupnya dan menerima
atas suratan tersebut, sebuah siklus hidup yang harus terjadi dan tidak ada
yang bisa menggantikannya. Sedangkan integritas adalah perasaan berkembang
melampaui diri bahkan mentransendensikan ikatan-ikatan nasional dan ideologis.
Para lansia ini memiliki rasa kedekatan
dengan melihat masa lalu. Contohnya seorang kakek menceritakan kisahnya saat
ikut berperang melawan penjajah kepada cucunya.
C.
Masalah-masalah
teoretis
Teori
Erikson adalah teori pentahapan PentahapanErikson memang lebih menyoroti
perkembangan emosional manusia namun pada dasarnya tetap memenuhi kriteria
yaitu,
1. Pentahapan
mengacu pada pola tingkah laku yang secara kualitatif berbeda
Pentahapan Erikson memberi kita
pemahaman yang baik tentang bagaimana tingkah laku secara kualitataif berbeda
di titik yang berbeda-beda.misalnya anak-anak di tahap otonomi (tahap kedua)
berbeda dari bayi yang berada di tahap percaya
(tahap pertama )Karena jauh lebih independen. Anak yang mengembangkan
rasa otonom ini menolak otoritas dan menghindari orang lain, sedangkan
anak-anak di tahap inisiatif (tahap ketiga) jauh lebih berani dan penuh
imajinasi, berjalan dengan tegak, membuat rencana-rencana besar dan mengimitasi
aktivitas-aktivitas baru. Perilaku memiliki keunikan yang berbeda di setiap
pentahapan Erikson.
2.
Pentahapan melukiskan
masalah-masalah umum.
Erikson sudah bejalan melampaui
fokus freud yang relaif spesifik kepada zona tubuh dan sudah beruaha melukiskan
persoalanumum di tiap periodenya. Ditahap oral (tahap pertama) contohnya,
erikson menunjukan bukan hanya stimulasi zona freud saja yang penting, tapi
juga mode umum pelaksanaanya, dan yang lebih umum lagi perkembangan rasa
percaya terhadap pengasuhan seseorang . dengan cara yang sama ditiap tahapannya
Erikson berusaha mengisolasi persoaana paling umum yang dihadapi individu di
dunia sosial.
3.
Pentahapan menyingkapkan
urutan yang tetap
Semua teori pentahapan selalu
berpedoman kepada urutan tetap, Erikson tanpa terkecuali. Dia menyatakan kalau
setiap tahapan selalu hadir dalam bentuk tertentu di seluruh hidup manusia,
namun setiap tahapan mencapai krisisnya sendiri diwaktu dan tatanan tertentu.
Klaim Erikson ini dilandaskan pada
asumsi bahwa urutan pentahapannya sebagian merupakan produk dari kedewasaan
biologis. Di tahap kedua contohnya, pendewasaan biologis membantu munculnya
rasa otonomi. Di tahap ketiga, pendewasaan mendorong ketertarikan seksual baru,
bersama-sama kapasitas bagi permainan yang imajinatif, keingintahuan dan daya
gerak yang aktif.
- Pentahapan
bersifat universal secara kultural.
Erikson percaya bahwa pentahapannya bisa
diterapkan di semua budaya. Erikson juga menyadari luasnya perbedaan
antarbudaya ini. Karena itu salah satu tujuannya membuat pentahapan ini adalah
menunjukkan bagaimana budaya bisa menangani pentahapan secara berbeda menurut
sistem nilai masing-masing. Contohnya, suku Indian Sioux memberikan anak mereka
periode pengasuhan yang lama dan penuh kesabaran, karena salah satu tujuan
mereka adalah memampukan anak memercayai orang lain dan menjadi murah hati
(1963,h.134-140). Sebaliknya, masyarakat
medern, khususnya Amerika, malah memutus rasa ketergantungan ini. Yang dimaksud disini adalah semua budaya
berusaha menyediakan anak mereka dengan perhatian yang konsisten, mengatur
keinginan mereka yang ekstrem untuk melakukan apapun dengan cara mereka sendiri,
dan menekankan tabu-tabu inses. Dan seiring pertumbuhan anak, semua budaya
meminta mereka mempelajari peralatan dan kemampuan teknoligi mereka, menemukan
identitas kedewasaan yang berguna, membangun ikatan-ikatan keintiman, merawat
generasi berikutnya, dan akhirnya menghadapi kematian dengan penuh integritas.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
yang dapat diambil antara lain :
- Erikson
lahir pada tahun 1902 di Frankfurt, Jerman. Orang tuanya berasal dari
Denmark, Erikson berasal dari keluraga broken
home, orang tuanya bercerai sebelum beberapa bulan dia lahir. Sehingga
ibunya pergi ke Frankfrut dan membesarkan bayinya disana. Erikson akhirnya
menemukan panggilan hidupnya, ketika dia berusia 25 tahun, ketika dia
diundang untuk menggajr anak-anak disebuah sekolah baru di wina yang
didirikan oleh Anna Freud dan Dorothy Burlingham. Untuk mengisi waktu
luang, ketika Erikson sedang tidak mengajar, dia mempelajari psikoanalisis
anak bersama Anna Freud dan lain-lainnya.
- Tahapan-tahapan
anak menurut erikson adalah rasa percaya vs tudak percaya, otonomi vs rasa
malu-malu, inisiatif vs rasa berssalah, kegigihan/industri vs
inferioritas, identitas vs kebingungan peran, keintiman vs isolasi,
semangat berbagi vs penyerapan diri dan stagnasi, dan integritas ego vs
rasa putus asa.
- Masalah-masalah
teoritis menurut erikson adalah, pentahapan mengacu pada pola tingkah laku
yang secara kualitatif berbeda, pentahapan melukiskan masalah-masalah
umum, dan pentahapan menyingkapkan urutan yang tetap Pentahapan bersifat
universal secara kultural.
DAFTAR
PUSTAKA
Crain,W.Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar