Jumat, 29 Mei 2015

Perkembangangan Belajar Peserta Didik Tahap perkembangan sosial : Erikson

BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Erikson lahir pada tahun 1902 di Frankfurt, Jerman. Erikson bukanlah anak yang pintar dan berprestasi dikelas, meskipun dalam beberapa mata pelajaran Erikson memiliki prestasi seperti sejarah masa lalu dan seni. Erikson akhirnya menemukan kembali panggilan hidupnya, ketika dia berusia 25 tahun, ketika dia diundang untuk mengajar anak-anak disebuah sekolah baru di wina yang didirikan oleh Anna Freud dan Dorothy Burlingham. Untuk mengisi waktu luang, ketika Erikson sedang tidak mengajar, dia mempelajari psikoanalisis anak bersama Anna Freud dan lain-lain nya. Salah satu karya Erikson yang terpenting adalah “childhood and society”, dan dua bukun lain yang juga berpengaruh yang berjudul “the young man Luther” (1958) dan “Gandhi’s Truth (1969), menjembatani pemikiran psikoanalisis dengan peristiwa-peristiwa historis.
Erikson memperdalam psikoanalisis freud dengan memperkenalkan 8 tahap kehidupan, yaitu rasa percaya vs tudak percaya, otonomi vs rasa malu-malu, inisiatif vs rasa berssalah, kegigihan/industri vs inferioritas, identitas vs kebingungan peran, keintiman vs isolasi, semangat berbagi vs penyerapan diri dan stagnasi, dan integritas ego vs rasa putus asa.
Pentahapan Erikson memang lebih menyoroti perkembangan emosional manusia, namun pada dasarnya masih memenuhi kriteria yang sama yaitu, pentahapan (1) melukiskan perilaku yang secara kualitatif berbeda, (2) mengacu pada persoalan umum (3) berlangsung dalam urutan yang tidak berubah,dan (4) secara kultural bersifat universal.






B.     Rumusan Masalah
1.      Siapakah Erikson ?
2.      Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan anak menurut Erikson ?
3.      Apa saja masalah-masalah teoretis menurut teori Erikson ?
C.     Tujuan
1.      Mengenal sosok Erikson.
2.      Mengetahui tahapan-tahapan perkembangan anak menurut Erikson.
3.      Mengetahui masalah-masalah teoretis menurut teori Erikson.



BAB 2
PEMBAHASAN
A.    Erik. H Erikson
Erikson lahir pada tahun 1902 di Frankfurt, Jerman. Orang tuanya berasal dari Denmark, Erikson berasal dari keluraga broken home, orang tuanya bercerai sebelum beberapa bulan dia lahir. Sehingga ibunya pergi ke Frankfrut dan membesarkan bayinya disana. Diusia Erikson yang ketiga tahun ibunya menikah lagi dengan seorang dokter yang bernama Dr. Homburger, ibunya dan ayah tirinya adalah keturunan Yahudi, namun fisik Erikson berbeda, dia lebih besar dan pirang serta memiliki mata berwarna biru seperti orang Denmark. Sehingga anak-anak yahudi setempat memanggilnya “goy” (bukan Yahudi). Erikson bukanlah anak yang pintar dan berprestasi dikelas, meskipun dalam beberapa mata pelajaran Erikson memiliki prestasi seperti sejarah masa lalu dan seni. Namun setelah Erikson menyelesaikan pendidikannya di tingkat sekolah menengah atas, dia malah merasa dirinya kacau dan tidak tahu apa yang akan dia lakukan untuk masa depannya, ketika sudah tiba saat untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat diploma, Erikson malah lebih banyak mengembara dan pergi berkeliling Eropa selama setahun, dan kembali lagi kerumah untuk belajar seni sebentar dan melanjutkan pengebaraan nya lagi. Pada saat seperti ini Erikson sedang mengalami masa atau fase dimana seorang anak muda sedang mencari jati diri dengan caranya sendiri.
Erikson akhirnya menemukan kembali panggilan hidupnya, ketika dia berusia 25 tahun, ketika dia diundang untuk menggajr anak-anak disebuah sekolah baru di wina yang didirikan oleh Anna Freud dan Dorothy Burlingham. Untuk mengisi waktu luang, ketika Erikson sedang tidak mengajar, dia mempelajari psikoanalisis anak bersama Anna Freud dan lain-lain nya. Menginjak usia 27 tahun Erikson menikah dengan Joan Serson dan memulai keluarga, namun kehidupan mereka terganggu pada tahun 1933 saat kebangkitan Hitler, sehingga memaksa mereka keluar dari Eropa dan pindah ke Boston dan menetap disana untuk beberapa saat, diamana dia menjadi analis anak yang pertama sekali di kota tersebut. Namun demikian dorongan untuk mengembara telah tertanam didalam diri Erikson, setelah tiga tahun dia bekerja di Boston, lalu kemudian dia mendapatkan tawaran utnuk ngajar disekolah Yale, dan dua tahun lagi dia mengadakan perjalanan ke cagar budaya Pine Ridge di kota selatan, dan tinggal disana untuk mempelajari suku Indian Sioux. Kemudia Erikson pindah ke Fransisco, tempat ia memulai praktiks klinis nya terhadap anak-anak dan berpartisipasi di dalam longitudinal Universitas California terhadap anak-anak normal. Dan berkesempatan menjelajahi pantai California untuk mempelajari suku Indian lain nya yaitu para nelayan Yurok.
Pada tahun 1949 selama era kepemimpinan McCarthy, Erikson berkonflik dengan instansi yang mempekerjakannya di universitas Calfornia tersebut, pihak universitas meminta sumpah setia semua pekerja nya, dan Erikson pun menolak hal tersebut, setelah beberapa rekan kerja nya di pecat dari pekerjaan itu akhirnya Erikson pun mengundurkan diri dan kemudian mengambil sebuah pekerjaan di Austin Riggs Center di Stockbridge, dan pada periode ini Erikson menerima gelar profesor di Harvad padahal Erikson tidak pernah memperoleh gelar formal bahkan untuk program diploma sekalipun, sejak tahun 1960 disitulah dia tinggal di Harvard samapai ajal menjemputnya. Salah satu karya Erikson yang terpenting adalah “childhood and society”, dan dua bukun lain yang juga berpengaruh yang berjudul “the young man Luther” (1958) dan “Gandhi’s Truth (1969), menjembatani pemikiran psikoanalisis dengan peristiwa-peristiwa historis.

B.     Tahapan Perkembangan Anak Menurut Erikson
1.    Tahap oral

Pertama-tama Erikson berusaha memberikan kepada pertahapan Freudian generalitas lebih besar dengan menunjukkan bahwa di setiap zona libidinal kita bisa menemukan mode ego yang khas. Di tahap awal, zona utamanya adalah mulut, dia memiliki mode aktifitas yang disebut inkorporasi, memasukkan sesuatu kedalam dirinya secara pasif namun sangat mendambakan sesuatu itu (Erikson, 1963, h. 72). Namun aktifitas inkorporasi tidak berhenti ditahap mulut, dia juga mencirikan aktifitas inderawi yang lain. Bayi tidak hanya memasukkan sesuatu lewat mulutnya, tetapi juga lewat matanya. Ketika melihat sesuatu yang manarik, dia membuka mata lebar-lebar dengan penuh semangat, berusaha memasukkan objek kedalam dirinya dengan segenap kemampuannya. Sejalan dengan itu tampakya dia juga memasukkan ke dalam dirinya perasaan-perasaan, lewat indera mereka yang masih rapuh.refleks mendasar seperti refleks menggenggam, tampaknya menikuti mode inkorporasi ini juga, misalnya ketika jari kita menyentuh telapak tangan bayi, otomatis telapak tangannya menggenggam jari kita atau menggengam disekitar objek yang menyentuh telapak tangan bayi.
Menurut Freud tahapan oral kedua ditandai dengan munculnya gigi dan gigitan agresif. Menurut Erikson mode penggigitan atau penggenggaman sama seperti inkorporasi, adalah mode umum yang tidak berhenti pada aktifitas mulut saja. Seiring dengan pertumbuhannya bayi dapat aktif menjangkau dan menggenggam segala sesuatu dengan tangan mereka. “mata bagian pertama dari sistem yang awalnya pasif menerima kesan-kesan, sekarang belajar untuk mengfokuskan diri, mengisolasi, “menggenggam” objek-objek dari latar belakang yang lebih buram, dan mengikuti gerakan objek-objek tersebut” (1963,h.77). Contohnya, ketika seorang bayi yang berumur 3 bulan dibaringkan didalam box bayi dan diatasnya telah  dipasang mainan yang dapat mengeluarkan suara dan berputar-putar, ketika mainan dimainkan, bayi tersebut akan melihat kearah sumber suara lalu mengamati bergeraknya mainan tersebut untuk beberapa saat, lalu bayi tersebut meraih salah satu benda di mainan yang bergantung diatas boxnya. Setelah dapat meraih benda yang dia inginkan dalam genggamannya, bayi tersebut berusaha untuk memasukkannya kedalam mulut. Akhirnya organ-organ pendengaran meneguhkan mode menggenggam secara lebih aktif lagi. Bayi sekarang dapat membedakan dan melokalisasikan suara-suara yang signifikan, sambil menggerakkan kepala dan tubuhnya   sehingga bisa memasukkan suara-suara itu ke dalam dirinya secara aktif.

Tahap paling umum : Kepercayaan vs Ketidakpercayaan Mendasar
Tahap umum periode oral ini terdiri atas perkenalan umum ego anak yang sedang berkembang dengan dunia sosial. Ditahap pertama, ketika bayi berusaha memasukkan hal-hal yang mereka butuhkan, mereka berinteraksi dengan para pengasuhnya, mengikuti cara budaya bertindak pada dirinya. Yang terpenting dari interaksi-interaksi ini adalah bayi berusaha menemukan sejumlah konsistensi, prediksi dan reliabilitas di dalam tindakan-tindakan mengasuh mereka. Ketika memahami bahwa orang tua cukup konsisten dan dapat diandalkan, mereka mulai mengembangkan pemahaman tentang kepercayaan mendasar kepada orang tua. Bayi menjadi paham ketika mereka merasa dingin atau lapar, maka orangtua bisa diandalkan untuk membebaskan dari rasa sakit itu. Kebalikan dari hal ini adalah rasa tidak percaya, perasaan bahwa orangtua tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dipercaya dan mungkin tidak akan pernah hadir jika dibutuhkan (1963, h.247).
Disisi lain bayi,  juga harus belajar memercayai dirinya sendiri. Karena masalah ini menjadi semakin akut waktu mereka mengetahui besarnya konsekuwensi dari giginya yang gatal telah menyakiti puting ibu lewat gigitan yang tajam dan genggaman yang keras. Ketika bayi belajar mengatur genggaman ini yaitu menyedot tanpa menggigit, menggenggam tanpa menyakiti, bayi mulai dapat melihat dirinya “cukup bisa dipercaya sehingga para pengasuhnya tidak perlu khawatir akan digigit” (1963, h.248). bayi juga belajar untuk tidak menyakiti ibunya, karena dia percaya bahwa ibunya bisa membebaskan dari rasa sakit. Untuk ibu sendiri, Erikson menyarankan agar mereka tidak menarik diri terlalu meyolok atau menyapih terlalu cepat bayinya. Karena jika hal ini terjadi, si bayi akan merasa perawatannya tidak bisa dipercaya karena tiba-tiba dihentikan begitu saja.
Erikson melihat tanda pertama kepercayaan pada ibu ini muncul ketika bayi rela “membiarkan ibu menghilang dari pandangan matanya tanpa rasa cemas atau marah yang tidak perlu” (1963, h.47). istilah ‘tidak perlu ini penting untuk dijelaskan, karena kita melihat didalam uraian Bowlby bahwa kebanyakan bayi mengalami kecemasan akan perpisahan. Namun jika orangtuanya bisa diandalkan, kata Erikson, maka bayi bisa mentorerir ketidakhadiran mereka. Contohnya , pagi hari ketika seorang bayi akan ditinggal orangtuanya bekerja dan dititipkan kepada pengasuh dirumah, bayi dapat belajar mentorerir ketidak hadiran orangtua, karena bayi merasa bahwa orangtuanya bisa diandalkan dan akan pulang pada siang nanti. Hanya jika orangtuanya tidak bisa diandalkan, barulah bayi tidak membiarkan mereka pergi, dan terserang panik bila memaksa pergi juga. Contohnya, bayi yang tinggal bersama pengasuhnya dirumah ketika orangtuanya bekerja, bayi akan selalu menangis dan panik karena menganggap bahwa orangtuanya tidak akan kembali lagi.
Erikson berkata bahwa dia lebih menyukai istilah percaya (trust) karena “terdapat lebih kenaifan dan kesetaraan didalamnya” (1963, h.248). rasa percaya ini menghasilkan sifat kesabaran yang lembut lantaran kepastian perasaan bahwa perhatian orang tua akan selalu ada jika dibutuhkan. Contohnya, ketika bayi menangis karena ngompol, orangtua akan mengganti popoknya. Rasa percaya kalo begitu adalah sebuah pengertian bahwa orang lain bisa diandalkan dan diprediksi. 
Apakah kepercayaan diri orang tua berkaitan dengan pertumbuhan bayi ? Erikson tampaknya memiliki pendapat yang mirip dengan psikiatris H.S. Sullivan. Sullivan (1953, h.49-109) percaya bahwa pada bulan-bulan pertama kehidupannya, bayi memiliki sejenis empati fisik yang khusus dengan figur ibu, bayi merasakan apa yang sedang ibunya rasakan, misalnya, bayi merasakan jika ibu sedang berada dalam kondisi tegang. Bila ibu merasa cemas bayi ikut merasa cemas, bila ibu merasa tenang bayi ikut merasa tenang juga. Interaksi-interaksi awal ini sangat mempengaruhi perilaku anak kedepan. Karena itu sangat penting untuk menjaga hubungan antar pribadi seperti ini. Bayi perlu merasa bahwa pada dasarnya hubungan ini baik sehingga dia merasa aman-aman saja untuk menjadi dekat dengan orang lain.
Erikson terkadang mengesankan pembacanya bayi mestinya mengembangkan rasa percaya dan bukannya rasa tidak percaya. Namun dia tidak pernah bermaksudkan untuk demikian. Dia melihat setiap tahapan adalah konflik atau tegangan vital dimana kutub ‘negatif’ juga diperlukan bagi pertumbuhannya. Bayi harus mengalami keduanya, rasa percaya maupun rasa tidak percaya. Jika mereka hanya mengembangkan rasa percaya, mereka akan terlalu medah ditipu. “sangat jelas”, kata Erikson, “kalo bayi harus mengalami rasa tdak percaya tertentu agar mereka bisa belajar percaya lewat kepekaan dan ketepatan”. (1957, h.23).
Kesimpulannya, bayi mengumpulkan dan kemudian menggenggam benda-benda didunia lewat beragam inderanya. Masalah kritis dalam tahap ini adalah rasa percaya vs rasa tidak percaya. Jika bayi dapat mengambangkan keseimbangan rasa percaya ini lebih besar dari rasa tidak percaya, maka bayi akan mengembangkan kekuatan ego inti dalam periode ini : harapan. Harapan memampukan anak bergerak maju dan berkonsentrasi dengan dunia secara antusias, apapun frustasinya saat ini dan dimasa lalu.

2.      Tahap Anal

Erikson setuju dengan Freud kalo mode dasar tahapan ini adalah retensi dan eliminasi, menahan arau melepaskan. Namun Erikson juga menunjukkan mode ini meluas lebih dari sekedar zona anal. Contohnya, anak-anak mulai menggunakan tangan untuk menggenggam erat-erat objek dan sebaliknya, bisa melepasnya kuat-kuat. Sekali sanggup jongkok dengan baik, anak dapat mengubur barang dengan hati-hati, untuk kemudian mengeluarkannya keesokan harinya. Dengan orang dewasa kadang mereka juga suka menahannya, mengendus-endusnya, namun kadang, pada saaat yang lain, mereka mendorong orang dewasa agar pergi menjauh darinya (1959, h.82,86).

Tahap umum : Otonomi vs rasa malu dan ragu-ragu
Diantara implus-implus yang saling bertentangan ini “memegang dan membuang” anak berusaha melatih kemampuan memilih. Anak yang berusia 2 tahun ingin memegang apapun yang diinginkan, dan mendorong apapun yang tidak diinginkan. Mereka melatih kehendak mereka tepatnya otonomi.
Anak akan sering menggunakan kata-kata ‘aku’ dan ‘punyaanku’, tetapi lebih banyak otonomi mereka diekspresikan dalam satu kata saja : ‘tidak’. Anak usia 2 tahun tidak mampu berkata ‘ya’, seolah persetujuan penyerahan bulat-bulat independensi mereka. Melalui penekanan yang kuat maka kata ‘tidak’, anak menolak semua kontrol eksternal atas dirinya.
Seperti diamati Freud, orangtua tidak suka anak mereka menikmati fase anal ini dengan cara yang disukainya, orang tua malah melatih mereka bertindk dengan cara yang benar secara sosial. Ketika anak mendesak untuk makan sendiri dan membuat kekacuan, orang tua berusaha mengatur tingkah laku mereka. Dengan cara yang sama, cepat atau lambat orangtua memutuskan bahwa anak usia 2 tahun tidak boleh lagi mengatakan ‘tidak’ terhadap setiap permintaan orangtua. Mereka harus hidup dimasyarakat dan menghargai keinginan orang lain. Konflik di tahap ini, kalo begitu, merupakan konflik yang sangat umum.
Erikson mendefinisikan konflik ditahap ini sebagai otonomi vs rasa malu dan ragu-ragu. Otonomi muncul dari dalam, sebuah pengawasan biologis yang mengasuh kemampuan anak untuk melakukan segala hal dengan caranya sendiri, mengontrol otot perut mereka sendiri, berdiri diatas kaki sendiri, menggunakan tangannya sendiri, dan sebagainya. Rasa malu dan ragu-ragu, sebaliknya, datang dari kesadaran akan ekspektasi dan tekanan sosial. Contohnya, seorang gadis kecil yang mengompol di celana jadi sadar sendiri, kaatir kalau orang lain melihatnya. Dalam kondisi itu. Rasa ragu berasal dari kesadaran bahwa dirinya tidak begitu berkuasa, sehingga orang lain bisa mengontrol dia dan bertindak lebih baik daripada dia.
Orang tua disejumlah budaya membantu anak mereka mengalami hal ini. Namun sayang, orang tua tidak sesensitif ini, malah mempermalukan anak mereka secara berlebihan, contohnya saat mereka buang angin. Orang tua mematahkan hati anak dengan sikap bermusuhan, atau menertawakan upaya mereka melakukan hal-hal tertentu dengan caranya sendiri. Dalam kondisi yang demikian, anak bisa mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu yang abadi, yang ujung-ujungnya malah mengiring implus-implus mereka kepada pembatas diri sendiri.
Bagi anak yang sanggup menyelesaika krisis kedua ini dengan cara yang positif, maka mereka akan mengembangkan kekuatan ego dalam bentuk kehendak yang kokoh. “kehendak,” kata Erikson merupakan kebulatan tekat yang tidak bisa dipatahkan untuk melatih pilihan yang bebas dan pengendalian diri” (1964, h.199). Erikson memasukkan pengendalian didalam definisi ini karena percaya bahwa penting bagi anak untuk belajar mengontrol implus-implus mereka sendiri, dan menentukan apa yang tidak pantas (tidak boleh) dilakukan. Jadi, anaklah yang seharusnya berinisiatif demikian, bukan kekuatan eksternal.




3.      Tahap Falik (Odipal)
Selama tahap ketiga Freud (antara usia 3-6 tahun), kepedulian anak kepada zona anal membuka jalan menuju perhatian kepada zona genital. Anak memfokuskan ketertarikan kepada alat kelaminnya dan menjadi sangat ingin tahu organ kelamin anak lain. Mereja juga mulai membayangkan dirinya didalam peran orang dewasa, bahkan berani bersaing dengan salah satu orang tuanya untuk memperoleh kasih sayang yang lain. Anak memasuki krisis odipal.
Erikson menyebut mode utama ditahap ini sebagai intrusi. Istilah intrusi melukiskan aktifitas penis anak laki-laki, namun sebagai mode umum, istilah ini mengacu lebih banyak hal lagi. “hal-hal ini menyangkup intrusi kepada tubuh orang lain lewat serangan fisik, intrusi kedalam telinga dan pikiran orang lain lewat percakapan agresif, intrusi kedalam ruang lewat gerakan-gerakan yang menyolok dan intrusi kedalam hal-hal yang tidak diketahui lewat keingintahuan” (Erikson,1963, h.87)
Tahap umum : Insiatif vs Rasa Bersalah
Inisiatif, seperti intrusi, berarti pergerakan kedepan. Lewat inisiatif, anak membuat rencana, menetapkan tujuan dan mempunyai semangat untuk mencapainya. Erikson mencatat contohnya, sejumlah aktivitas salah satu putranya saat berusia 5 tahun. Suatu hari dia melihat seberapa tinggi bisa menyusun mainan baloknya, kemudian menemukan permainan lain untuk melihat seberapa tinggi dia bisa melompat dari tempat tidur orang tuanya, dan akhirnya mendorong anggota keluarga yang lain untuk melihat sebuah film baru yang kabanyakan berisi aksi dan kekerasan. Tingkah laku ini dia lakukan berdasarkan tujuan, hasrat dan persaingan dan kualitas imajinasi tertentu.
Di titik ini, krisis datang ketika anak mulai menyadari bahwa rencana-rencana terbesar mereka dan harapan-harapan terdalamnya hancur berantakan. Ambisi-ambisi ini tentunya ambiso odipal, keinginan untuk memiliki salah satu orang tua dan bersaing dengan yang satunya. Lalu anak menemukan kalau harapan-harapan melanggar tabu sosialdan amat berbahaya dari yang bisa dia bayangkan. Karena itu anak mulai menginternalisasikan larangan-larangan sosial, sebuah rasa bersalah pembentuk superego. Hasilnya adalah sebentuk pengendalian diriyang sama sekali baru, meski jauh sesudah itu, apabila kegembiraan dan keberanian naif individual seperti ini muncul lagi, maka dia akan dipersalahkan sendiri oleh dirinya yang mengamati, mengendalikan dan menghukum dirinya sendiri.
Superego dibutuhkan bagi perilaku yang tersosialisasikan, namun ternyata dia masih mengandung sejumlah inisiatif keberanian. Namun Erikson tidak pesimis dengan hal ini. Dia malah mengamati kalau anak-anak yang berusia 3-6 tahun, lebih dari periode waktu manapun, sudah siap untuk belajar lebih cepat dan gigih, dia bersedia mencari cara untuk menghubungkan ambisi mereka dengan tujuan-tujuan yang berguna secara sosial (1963, h.258). orang tua bisa membantu proses ini dengan memperlunak otoritas dan memperbolehkan anak berpartisipasi dengan setara untuk mengahadapi proyek-proyek kehidupan yang menarik. Lewat cara ini orang tua bisa membantu nak keluar dari krisis tahapan ini dengan pengertian penuh mengenai tujuan “keberanian untuk memimpikan dan mengejar tujuan-tujuan yang bernilai” yang tidak akan bisa oleh rasa bersalah maupun larangan (1964, h.122).
  1. Tahap Latensi
Erikson menunjukkan bahwa tahap latensi justru paling menentukan bagi pertumbuhan ego. Anak belajar menguasai kemampuan kognitif dan sosial yang penting. Krisis dalam tahap ini adalah Industri vs inferioritas. Anak melupakan keinginan masa lalu, yang sering kali merupakan harapan keluarganya dan sangat ingin mempelajari kemampuan dan kegunaan peralatan budayanya yang lebih luas.
Bahaya pada tahapan ini adalah perasaan berlebih-lebihan karena ketidaktepatan dan inferioritas. Contohnya adalah ketika anak diperolok-olok oleh teman-teman bermainnya. Perasaan inferior yang terlalu mendalam memiliki akar yang beragam. Anak akan menemui kesulitan di tahap ini karen tidak dapat menyelesaikan konflik di tahap-tahap selanjutnya. Namun guru yang baik bisa membantu anak di masa-masa kritis ini. Dalam kehidupan orang-orang yang penuh inspirasi besar dan bertalenta tinggi, ternyata gurulah yang dulu sudah membuat dia merasa berbeda dan unik dengan memberikan dukungan. Keberhasilan memecahkan masalah di tahap ini akan membawa anak kepada penguatan ego yang disebut “kompetisi”.
  1. Tahap Pubertas
Masa remaja merupakan tahap penuh gejolak karena perubahan fisiologis yang dramatis dialami pada masa remaja. Menurut Erikson, tugas utama remaja adalah membangun pemahaman baru mengenai identitas ego. Identitas ego adalah sebuah perasaan tentang siapa dirinya dan apa tempatnya ditatanan sosial yang lebih besar. Krisis ini merupakan salah satu dari krisis identitas vs kebingungan peran.
            Pertumbuhan fisik pada masa remaja menciptakaan rasa kebingungan identitas anak muda tumbuh dengan cepat dan mengubah segala cara yang sudah ditemukan sebelumnya. Bisa saja karena alasan inilah para remaja menghabiskan banyak waktu untuk menatap cermin dan memerhatikan penampilan mereka. Namun masalah identitas yang dihadapi remaja sama banyaknya dengan masalah sosialnya. Masalah tersebut yaitu ketakutan tidak terlihat baik atau tidak memenuhi harapan orang lain.
            Karena remaja merasa tidak begitu pasti dengan jati dirinya, mereka sangat bersemangat untuk mengidentifikasi diri dengan bergabung di suatu ‘gang’. Mereka bisa menjadi sangat ‘nge-gang, tidak toleran, dan kejam saat membully teman mereka’. Beberapa anak muda membiarkan dirinya terserap ke dalam ieologi politik atau religius tertentu. Pencarian anak muda akan nilai-nilai yang dapat membuat mereka merasa dirinya sudah melakukan sesuatu yang benar. Untuk mengembangkan pemahaman identitas lewat pencapaian tertentu dengan melihat diri kita sebagai “pribadi yang sanggup melakukan hal-hal ini ”. pencapaian seperti ini lalu menjadi bagian dari sudah diniati sejak dulu.
  1. Tahap Dewasa Muda
Keintiman vs isolasi
Tahap perkembangan dewasa Erikson berisi langkah-langkah manusia memperlebar dan memperdalam kapasitas mencintai dan memerhatikan orang.pada masa remaja sebelumnya , mereka hanya berpusat pada diri sendiri, mereka lebih bergulat dengan bagaimana penampilan mereka di mata orang lain, dan akan menjadi apa mereka di masa depan. Di dalam interaksi-interaksi awal itu anak muda berusaha menemukan siapa diri mereka melalui percakapan tanpa batas mengenai perasaan mereka yang sesungguhnya, mengenai pandangan satu sama lain, rencana, harapan, dan cita-cita mereka.
Masa dewasa muda merupakan sebuah keintiman, yang merupakan satu-satunya perasaan identitas paling masuk akal yang sudah dibangun selama ini. Namun bila anak muda begitu khawatir dengan maskulinnya, maka dia tidak akan dapat menjadi kekasih yang baik. Karena dia terlalu sadar diri dan khawatir dengan bagaimana cara menarik diri dengan bebas dan lembut dari pasangan seksualnya. Di tingkatan ini mereka yang gagal mencapai mutualitas sejati akan mengalami kutub sebaliknya dari tahapan dewasa muda.
Erikson mengamati beberapa anak muda yang terburu-buru menikah. Padahal pasangan anak muda tersebut belum matang secara mendalam untuk menikah. Mereka berharap sanggup menemukan diri mereka di dalam pernikahan. Namun pasangan muda tersebut capat atau lambat mulai merasa terkekang oleh kewajiban sebagai kekasih dan orang tua. Mereka akan segera mengeluh mengeluh pasangannya tidak lagi memberinya kesempatan untuk mengembangkan diri, dan putusan dari persoalan ini dengan berganti pasangan adalah keputusan yang tidak tepat.
Oleh sebab itu Erikson membahas tentang orgasme. Orgasme merupakan pengalaman tertinggi daripengaturan timbal balik yang bisa mengurangi kepahitan yang tidak perlu, perselisihan diantara dua manusia. Karena setiap orang berbedan secara seksual dan yang lainnya, maka pasti akan selalu ada derajat antagonisme diantara pasangan-pasangan itu, yang bisa mengarah pada pengisolasian periodik. Keintiman harus kuat, maka kaum dewasa muda dapat mengembangkan kekuatan ego yang disebut cinta yang dewasa.
  1. Tahap Dewasa
Dalam tahapan ini manusia memasuki tahapan semangat berbagi vs penyerapan diri dan stagnasi. Semangat berbagi merupakan istilah yang sangat luas, mengacu bukan hanya memproduksi anak, tapi juga memproduksi hal-hal dan ide-ide lewat kerja.
Fakta seseorang yang sudah memiliki anak maka tidak menjamin dia memiliki semangat berbagi. Orang tua harus dapat melakukan lebih banyak hal dari pada hanya menghasilkan keturunan, mereka juga harus melindungi dan membimbing mereka. Orang tua juga sering mengorbankan kebutuhan diri sendiri, hanya untuk memenuhi kebutuhan anak. Mereka harus mengatasi godaan untuk memuaskan diri sendiri, yang hanya akan mengarah pada stagnasi yang tidak produktif.
Eriksob juga mencatat bahwa sejumlah orang sudah mengembangkan semangat berbagi dan perhatian walaupun tidsk memiliki anak. Contohnya para Biarawati dan Pastur, mereka mampu mengasuh anak-anak rohani mereka, seperti orang lain mengaplikasikan kemampuan istimewa mereka dengan bidang lain. Orang-orang seperti mereka ini menuntun generasi selanjutnya.
Di sisi lain, ada juga banyak orang menikah tapi kekurangan semangat berbagi. Pasangan sering kali mundur ke dalam ‘pseudo-keintiman’ atau “mulai menutup diri seolah mereka satu-satunya anak tunggal”. Individu-individu seperti ini tampaknya lebih peduli dengan kebutuhannya sendiri daripada kebutuhan anak mereka.

  1. Tahap Usia Senja
Kaum lansia harus menghadapi serangkaian kehilangan kekuatan fisik dan kesehatan, kehilangan pekerjaan sehingga pendapatan mereka bergantung pada dana pensiun atau dari anak mereka, dan seiring berjalannya waktu mereka mulai kehilangan pasangan, kerabat, dan teman-teman mereka. Mereka menderita kehilangan status sosialnya, menjadi tidak bisa aktif lagi, dan merasa diri mereka tidak berguna. Orang tua yang berhasil mengatasi kesulitan ini akan sanggup menyesuaikan diri dengan kondisi fisik dan sosialnya yang baru.
Fakta bahwa para lansia tidak bisa seaktif dulu. Namun penekanan mestinya bukan diberikan pada penyesuaian eksternal, melainkan pergulatan bati di periode ini, sebuah pergulatan yang berpotensi untuk tumbuh bahkan mencapai kebijaksanaan. Erikson menyebut pergulatan ini Integritas ego vs keputusasaan.
Seiring dengan mendekatnya para lansia dengan kematian, mereka pun mengulas masa hidup dan bertanya-tanya apakah hidup yang sudah mereka jalani berharga. Di dalam proses ini, mereka berkonfrontasi dengan rasa putus asa. Mereka memiliki perasaan bahwa hidup bukan seperti yang mereka inginkan. Banyak lansia muak dengan hal-hal kecil, tidak lagi memiliki kesabaran untuk berjuang dan mengalahkan orang lain seperti dulu.
Integritas ego adalah perasaan bahwa terdapat sebuah suratan bagi hidupnya dan menerima atas suratan tersebut, sebuah siklus hidup yang harus terjadi dan tidak ada yang bisa menggantikannya. Sedangkan integritas adalah perasaan berkembang melampaui diri bahkan mentransendensikan ikatan-ikatan nasional dan ideologis. Para lansia ini memiliki rasa  kedekatan dengan melihat masa lalu. Contohnya seorang kakek menceritakan kisahnya saat ikut berperang melawan penjajah kepada cucunya.
C.    Masalah-masalah teoretis
Teori Erikson adalah teori pentahapan PentahapanErikson memang lebih menyoroti perkembangan emosional manusia namun pada dasarnya tetap memenuhi kriteria yaitu,
1.    Pentahapan mengacu pada pola tingkah laku yang secara kualitatif berbeda
Pentahapan Erikson memberi kita pemahaman yang baik tentang bagaimana tingkah laku secara kualitataif berbeda di titik yang berbeda-beda.misalnya anak-anak di tahap otonomi (tahap kedua) berbeda dari bayi yang berada di tahap percaya  (tahap pertama )Karena jauh lebih independen. Anak yang mengembangkan rasa otonom ini menolak otoritas dan menghindari orang lain, sedangkan anak-anak di tahap inisiatif (tahap ketiga) jauh lebih berani dan penuh imajinasi, berjalan dengan tegak, membuat rencana-rencana besar dan mengimitasi aktivitas-aktivitas baru. Perilaku memiliki keunikan yang berbeda di setiap pentahapan Erikson.
2.         Pentahapan melukiskan masalah-masalah umum.
Erikson sudah bejalan melampaui fokus freud yang relaif spesifik kepada zona tubuh dan sudah beruaha melukiskan persoalanumum di tiap periodenya. Ditahap oral (tahap pertama) contohnya, erikson menunjukan bukan hanya stimulasi zona freud saja yang penting, tapi juga mode umum pelaksanaanya, dan yang lebih umum lagi perkembangan rasa percaya terhadap pengasuhan seseorang . dengan cara yang sama ditiap tahapannya Erikson berusaha mengisolasi persoaana paling umum yang dihadapi individu di dunia sosial.
3.                            Pentahapan menyingkapkan urutan yang tetap
Semua teori pentahapan selalu berpedoman kepada urutan tetap, Erikson tanpa terkecuali. Dia menyatakan kalau setiap tahapan selalu hadir dalam bentuk tertentu di seluruh hidup manusia, namun setiap tahapan mencapai krisisnya sendiri diwaktu dan tatanan tertentu.
          Klaim Erikson ini dilandaskan pada asumsi bahwa urutan pentahapannya sebagian merupakan produk dari kedewasaan biologis. Di tahap kedua contohnya, pendewasaan biologis membantu munculnya rasa otonomi. Di tahap ketiga, pendewasaan mendorong ketertarikan seksual baru, bersama-sama kapasitas bagi permainan yang imajinatif, keingintahuan dan daya gerak yang aktif.
  1. Pentahapan bersifat universal secara kultural.
Erikson percaya bahwa pentahapannya bisa diterapkan di semua budaya. Erikson juga menyadari luasnya perbedaan antarbudaya ini. Karena itu salah satu tujuannya membuat pentahapan ini adalah menunjukkan bagaimana budaya bisa menangani pentahapan secara berbeda menurut sistem nilai masing-masing. Contohnya, suku Indian Sioux memberikan anak mereka periode pengasuhan yang lama dan penuh kesabaran, karena salah satu tujuan mereka adalah memampukan anak memercayai orang lain dan menjadi murah hati (1963,h.134-140).  Sebaliknya, masyarakat medern, khususnya Amerika, malah memutus rasa ketergantungan ini.  Yang dimaksud disini adalah semua budaya berusaha menyediakan anak mereka dengan perhatian yang konsisten, mengatur keinginan mereka yang ekstrem untuk melakukan apapun dengan cara mereka sendiri, dan menekankan tabu-tabu inses. Dan seiring pertumbuhan anak, semua budaya meminta mereka mempelajari peralatan dan kemampuan teknoligi mereka, menemukan identitas kedewasaan yang berguna, membangun ikatan-ikatan keintiman, merawat generasi berikutnya, dan akhirnya menghadapi kematian dengan penuh integritas.

BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan yang dapat diambil antara lain :
  1. Erikson lahir pada tahun 1902 di Frankfurt, Jerman. Orang tuanya berasal dari Denmark, Erikson berasal dari keluraga broken home, orang tuanya bercerai sebelum beberapa bulan dia lahir. Sehingga ibunya pergi ke Frankfrut dan membesarkan bayinya disana. Erikson akhirnya menemukan panggilan hidupnya, ketika dia berusia 25 tahun, ketika dia diundang untuk menggajr anak-anak disebuah sekolah baru di wina yang didirikan oleh Anna Freud dan Dorothy Burlingham. Untuk mengisi waktu luang, ketika Erikson sedang tidak mengajar, dia mempelajari psikoanalisis anak bersama Anna Freud dan lain-lainnya.
  2. Tahapan-tahapan anak menurut erikson adalah rasa percaya vs tudak percaya, otonomi vs rasa malu-malu, inisiatif vs rasa berssalah, kegigihan/industri vs inferioritas, identitas vs kebingungan peran, keintiman vs isolasi, semangat berbagi vs penyerapan diri dan stagnasi, dan integritas ego vs rasa putus asa.
  3. Masalah-masalah teoritis menurut erikson adalah, pentahapan mengacu pada pola tingkah laku yang secara kualitatif berbeda, pentahapan melukiskan masalah-masalah umum, dan pentahapan menyingkapkan urutan yang tetap Pentahapan bersifat universal secara kultural.

DAFTAR PUSTAKA

Crain,W.Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LAPORAN PRAKTIKUM PEREDARAN DARAH

P PEREDARAN DARAH        I.             Pendahuluan Latar Belakang Darah adalah komponen yang sangat penting bagi makhluk hidup, ...